Minggu, 03 November 2013

bius-buas



Ada sesuatu hal yang membuat saya jengkel malam ini. keadaan yang sempat membuat saya tercengang, seorang kawan satu kelompokku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu apa itu forsel. Hkhkhk...lelucon satir. Saya ingat betul waktu ketika kelompok ini dibentuk, berikut wajah-wajah yang hadir disana. Dia ikut nimbrung disitu, atau apa perlu saya publikasikan foto acara tersebut dengan cara difokuskan ke matanya. Lalu kenapa ia lupa (sengaja lupa)?
Tidak dapat dipungkiri, bahkan sejak advance gerakan suatu kelompok memiliki rotasi yang tidak menentu akan membawa ke tampilan yang mana. Senyatanya di sini, kita telah memahami dengan baik seberapa jauh program kelompok ini berjalan, dengan misi apa. Tanpa mengesampingkan banyaknya keluhan selama ini, dampak dari spekulasi yang nihil dan hasil yang tidak jelas. Barangkali dengan penundaan berbagai aktifitas satu kelompok adalah bentuk yang wajar. Sementara. Namun kondisi ini tidak serta-merta membuat kita mesti jera dan berpaling. Malam ini, sentimentil yang tinggi seseorang memaksaku menginjak balik dirinya. Mencongkel keyakinan yang dibawanya untuk kemudian saya bakar di tengah jalanan. Saya harus lakukan berapapun bayarannya. seseorang (atau kalau tidak mau disebut oknum) diantara kita berfikir berseberangan. Artinya ada yang perlu dibenahi lebih mendalam disini. Jika kelompok ini tidak mau memiliki kesulitan serupa dengan unit kegiatan mahasiswa, atau organisasi ekstra beserta kroninya yang mereka semua telah tercebur ke zonasi yang terkotak-kotak sehingga kehilangan relasi dengan anggota kelompoknya, kesulitan dengan takaran yang mencapai kegilaan pengaruh, demi menjamu keegoisan yang dimiliki individu di dalamnya.
Kebaikan sebagai tontonan
Saya kira ada yang berbeda antara manuver sum’ah dengan riya’ (setidaknya agamaku mengajari demikian). Sum’ah bertujuan untuk memamerkan kebaikan dengan ungkapan dan tingkah, sedangkan riya’ memamerkan kebaikan melalui sikap tertentu. Yang meskipun tanpa dibahasakan, keduanya sama-sama negatif di mata tuhan. Perbedaannya terlampau sedikit. Memang ya, sum’ah sangat berbahaya bagi psikologi manusia yang bertindak demikian. akan tetapi dengan asalnya yang bias, riya’ lebih parah dari sum’ah. Sedikit terdapat kesamaan disini, dengan sembarangan pula saya mengkopi publikasi di jejaring sosial, “janganlah memandang suatu kebaikan dari hasilnya saja, karena kebaikan akan diikuti hasil di belakangnya”. Ini kelucuan yang tragis, setelah memerkan suatu kebaikan lewat potret-potret otentik di dalam forum kelompok. Pada momen tersebut, saya membenarkan sekilas, dengan harapan agar semua anggota tidak beranggapan buruk. Namun situasi ini tidak terbendung ketika seseorang dari kita merespon ini. “jangan bawa-bawa kelompok jika itu dilakukan dua orang”. ungkapan ini seperti telah membentuk garis tegas antara kebaikan yang sekedar visualisasi ejekan dengan spektrum kebaikan di hadapan tuhan dan manusia. tentu hasilnya adalah tanggapan negatif dari anggota yang lain. tidak peduli seberapa baik tuhan mau mengobral pahala kepada hambanya pada momen tersebut.
Mengenai ide, identik, dan identitas
Maka sangat konyol ketika gerakan kelompok dikaitkan dengan seberapa jauh nilai kebaikan satu orang terhadap kepentingannya, sendiri. apa yang saya sebut sebagai kepentingan pada statement ini adalah citra, atau identitas diri. Eksistensi yang sudah begitu masif dari tensi seseorang, secara langsung bahkan menginjak nama kelompok ini. saya pikir ide bahwa segala yang dihasrati harus selesai total perlu direservis. Ide tersebut sedang berhadapan dengan persoalan ide otonomi. Terlampau meyakini idenya sendiri tanpa memperhatikan situasi sekitar. Ide tersebut, dalam pengalaman ketika berada di tengah masyarakat terbuang, akan hancur dengan sendirinya. Tidak bisa tidak, sistem tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Toh juga kita masih mahasiswa, kalau memang apa yang dihasrati harus dikerjakan total. Seharusnya kita membutuhkan usaha sekali lagi dengan tidak menganggap remeh kuliah ini. pilihannya sederhana, sesederhana ide adaptasi terhadap lingkungan (pelajaran IPA di SD mengulas bunglon selalu berubah warna sesuai dengan warna tempat tubuhnya menempel, meskipun perilaku adaptasi ini sifatnya cepat dan sebentar, sehingga tidak cocok untuk kehidupan politik dan berkelompok). Ide tersebut harus dikoreksi lebih detail, semua orang dalam satu kelompok membutuhkan dukungan, saling mendengar, dan saling percaya. oleh seorang tokoh disebut dengan proses penyatuan diri dengan obyek yang dihasrati, setelah itu, akan tercapai sebuah peleburan. Kita, yang sejak awal memiliki komitmen, lalu pada tahap selanjutnya merasakan kebosanan, apa iya harus bersikap seperti bunglon yang berlari ke arena kelompok lain yang lebih menjanjikan mangsa? Saya kira menghadapi kebosanan terhadap apa yang kita tempati sejak awal itulah sikap yang bertahan, dan tidak setengah-setengah. Saya tidak mengerti pembenaran untuk pembelotan semacam ini, sedangkal pemahaman bahwa pembelotan hanya akan melahirkan jiwa-jiwa yang teralienasi, merancang ruangnya sendiri untuk ditempati selamanya, sambil membeberkan konsep akan kejamnya dunia ini. Hei! jatuh cinta pada kekasihmu saja harus diungkapkan dengan representasi bahasa dan pengaplikasian tindakan yang sekiranya mewakili yang kamu rasakan. Barulah membuat komitmen bersama, yang meskipun kadang kekasihmu dibicarakan buruk oleh orang lain, atau dikhianati olehnya, kamu akan bertahan. Memang ada batasan, kamu meninggalkannya, mungkin batasan itu adalah akibat dominasi yang berlebihan. Atau jangan-jangan kamu tidak pernah merasakan jatuh cinta? Kaitannya dengan kelompok ini, kalau kamu sudah merasakan jatuh cinta pada kelompok ini berarti kamu perlu menyelami lagi lebih dalam karakter semua anggota yang terlibat di dalamnya. Saya mempertanyakan siapa yang pernah disakiti oleh kelompok ini? atau sebut siapa saja yang pernah menyakitimu di kelompok ini? kalau memang ada, kenapa malah diam?! Ungkapkan disini dong! Tidak ada perwakilan untuk bicara semenjak dewan perwakilan hanya menjamu kekuasaan. Tidak perlu juga mencari pembenaran dari orang luar. Pun kelompok ini bukan tuhan, yang mampu menjawab doamu selalu.
Dengan demikian ide mengenai identitas kelompok bukan sebuah kanal yang ambisius mempertahankan ide satu orang. dan ide ambisius satu orang akan menemukan realitasnya hanya jika dunia tidak dilibatkan. Dengan cara yang agak halus, keinginan kelompok mesti dipahami sebagai suatu sikap reifikasi. Dimana keinginan kelompok yang sifat prinsipilnya cair dan bergerak, melalui agenda atau semacamnya. maka kemudian terksplorasi ke praktek di kenyataan.
Kelompok yang masih belajar
Saya tau kemudian ketika kita harus dihadapkan dengan situasi mencengangkan oleh pertanyaan tentang bagaimana kejelekan kelompok terkuak di lingkungan berbeda dan mesti disikapi bagaimana? Pertanyaan tersebut beriak pada situasi stagnan dan biasa-biasa saja. Kelompok ini (kalau tidak mau disebut mati) menurut saya tidak memiliki arah yang pasti, kecuali nongkrong di warung kopi atau tempat-tempat umum seperti alun-alun. Memang kenyataan yang di kerjakan melulu membahas omong-kosong. aktivitas macam ini sama menjengkelkannya dengan kultur band punk rock yang selalu mengewajantahkan anti kemapanannya dengan konser di kafe pinggiran kota. Sampai seribu kali mereka berteriak tentang betapa berbahayanya mereka, paling klop kalau kata berbahaya itu dikaitkan dengan ilusi, semata. Karena mereka itu semata-mata mengejar opini, dukungan dan pengakuan. Sedangkan bagi kapitalisme yang selalu mantap hingga saat ini, kultur band punk rock merupakan kelas yang terasing dari masyarakat, yang mampu melembutkan eksistensi pasar kapital (sekarang lagi marak remaja labil yang ikut-ikutan berpenampilan akibat doktrin film punk in love). Namun, dengan pertemuan rutin dan non-formal, kita sedang berusaha untuk sesuatu hal. Belajar menemukan keselerasan yang berguna untuk sesuatu hal itu. Sebut saja masa depan yang hingga sekarang tetap klise.
Seruan untukmu..
Kalau tentang kelompok ini. Tidak mungkin kamu “menghimbau” seenak mulutmu demi kebaikan kelompok. Perhatikan dulu psikogeografis kawan-kawan dalam kelompokmu. Sudah memiliki komitmen yang sama belum? Apa sudah terjalin komunikasi yang baik?. Selama ini kamu tidak pernah mau berkumpul dengan kami, kamu menolak membagi bicara omong-kosong dengan kami, yang padahal lantai dari konsolidasi itu terbuat bukan hanya mengandalkan koneksi perorangan lewat pertemuan gaib, melainkan dari pertemuan rutin atau meskipun itu di warung kopi. Lagipula kan kamu merasa lebih unggul dari kami?!. Oh ya saya paham, karena kesombonganmu itu mungkin membuat kamu teramat menjengkelkan, jadi kelompok ini harus meminta nasehat dan belas kasihan ke tempat tinggalmu. Kalau belum benar komunikasi internalmu, berarti obsesifmu butuh reparasi yang mencolok ke arah instalasi ulang, daripada kamu menebar racun di lingkungan luar. Atau mari kita belajar kembali dasar-dasar pembentukan kelompok ini?
terminologi “menghimbau” sendiri sering direpetisi oleh penguasa-penguasa, diiringi oleh semangat perjuangan membela rakyat, pancasilais dan jargon lainnya di balik layar televisi. Akan tetapi hasil yang diterima rakyat bertolak belakang.
Secara subyektif. wujud ego yang bersarang dalam dirimu itu. Adalah tentu memuakkan, yang merasa sudah sabar dan berbuat baik selama ini. tapi tidak lantas memaksakan keinginan personalmu kepada personil yang lain. ingat! Di kelompok ini tidak ada pion yang mesti mati demi misi penyelamatan sang raja. Meskipun kata seruan ini tidak lantas merupakan dalih untuk melupakan pertolonganmu tempo hari. bagaimanapun juga saya berhutang budi padamu. Tapi pada organisasi, kamu tetap saya permasalahkan. Nahh... mengenai pengaturan arah gerak. Kitalah setir kelompok ini. Karena kita sendiri bebas memperdebatkan dan menyelesaikan apapun. bebas disini bukan kata sifat.
Setiap kelompok tentu memiliki pertimbangan. Entah itu pertimbangan masalah kuliah, keluarga dan lain-lain. kelompok ini kan sebuah forum. Kalau kamu tidak setuju dengan penamaan ini, kenapa kamu harus mencari tempat peraduan di luar? sikapmu yang berpura-pura tidak tahu itu seharusnya kamu ungkapkan di intern kelompok, bukan malah menyerang dari sudut pandangmu, sendiri. seminimal mungkin ego yang kita miliki sejak lahir berusaha kita kikis setidaknya dalam waktu yang temporer. Dengan cara apa itu yang disebut kompromi, mediasi dan blablabla apalah. Karena pengikisan ego, semua orang akan belajar berkorban untuk memahami keinginan kelompok. masa inilah masa pendewasaan. Memandang keburukan, semua orang, saya yakin sangat jeli daripada memandang kebaikan di balik itu.
Boleh saja kamu pergi atau keluar dari kelompok ini, tapi tidak lantas meninggalkan jejak buruk bagi kelompokmu.  Karena jejak ini adalah sikap meremehkan banyak orang. kamu telah mengumbar ke lingkungan luar, tentang kejijikanmu, sekaligus di waktu yang sama kamu haus kebutuhan pembelaan. Menurut saya wajar kalau orang sepertimu bersikap bak kucing lapar yang mencari belaian dari tangan siapapun yang memiliki makanan. Karena memang kelompok ini selalu miskin kedisiplinan, miskin tontonan yang berarti, miskin pesona, dan selalu terlambat belajar, dan kelompok ini bergerak hanya demi berusaha mengisi waktu senggang kuliah masing-masing kami yang mulai terasa bosan. Bukan menebar popularitas ala selebritis.
Dengan sadar saya meniru operator seluler. Saya telah berkali-kali bicara padanya mengenai kelompok ini, dan harus berikap bagaimana menghadapi situasi sekarang. tetapi sama sekali tidak digubris olehnya. Mungkin melalui media sampah ini saya akan membuang sampah ingatan pada gesekan kecil yang terjadi baru saja. Saya tidak mengharapkan apapun dari infantile-disorder itu. selain kelegaan yang maha tenang di tengah malam. Sampah memang harus terbuang percuma. Catatan ini bukan sesuatu yang obyektif, dengan analisis tajam spesialis kata-kata. Catatan ini murni, semurni omong-kosong. karena sayapun meragukan apa yang saya anggap benar. Konsekuensi yang akan saya terima tentu tidak sekecil kejengkelan sesaat ini. timbal balik kritiknya akan lebih berat, bisa jadi saya akan kehilangan seorang teman lagi, saya tidak peduli, lagipula pengalamanku tidak baik-baik amat dalam berteman. Bahkan mungkin dia dengan argumen pedas berkata “tidak perlu menceramahi saya tentang pahala!” atau “persetan dengan visi kelompok!”. Justru saya butuh kalimat itu dimanapun kami akan berjumpa!

Selamat menikah sahabat




Saya tidak ingin diingat sebagai seseorang yang pernah menghabiskan berbungkus-bungkus rokok, dan mengubur telikungan teman lama dipersimpangan jalan sepanjang lombok timur bersamamu. saya tidak ingin diingat sebagai sahabat yang baik. Jangan pernah! Saya hanya ingin dikenang sebagai seorang sahabat yang tolol karena tidak pernah berbuat sesuatupun untuk sahabatnya sendiri. Sesuatu yang saya janjikan padamu tempo hari kini telah menjadi dosa akibat kecurangan yang disengaja.
Dari balik dua dataran yang tak pernah memiliki wujud asali. kau pernah membacanya, sahabatku. Perjuangan adalah proses yang sangat panjang, sebagian hasil akan tampak, sebagian yang lain hanya membekas menjadi rekaman pikiran yang tidak dapat tersaji dalam bingkai potret. ketika beberapa perempuan telah berhasil kau singgahi, tidak lebih dari beberapa kutipan fiksi sederhana kalau mereka, perempuan itu pernah menghiasimu, tapi masamu yang lampau akhirnya telah berpulang pada satu muara pilihan, perempuan terakhir yang akan menemani langkah-langkahmu menggapai matahari yang tenggelam. Dan esok hari, dialah perempuan yang pertama kali akan kau temui ketika matahari menggeliat kembali.
Hari ini saya mengacaukan semua katalog yang pernah kau baca dalam perjalananmu. sahabatku. Kalaupun saya harus memohon maaf, semuanya terdengar percuma semenjak saya telah terjatuh terlalu dalam ke lubang hitam romantisme kuliah disini. Yang bermain-main mengurai fase penundaan dan pembelaan.
Sahabatku, tiada perkataan yang akan mampu menyenangkanmu. Kau tidak perlu memaafkanku hanya karena catatan biasa saja dari sahabatmu ini. saya membayangkan jika nyanyian lagu daerah yang kerap diputar pada malam begawe terdengar disana, dihalaman rumahmu. Ditemani teriakan, dan sorak-sorai para pemain judi mengisi malam mereka yang biasanya hening. Atau riuh canda remaja muda-mudi yang mengungsikan rindu mereka ke pundi asmara. dibawah atap anyam-anyaman daun kelapa dan tiang-tiang bambu. Mereka hadir mengiringi jiwamu yang akan berjalan meniti tanggung jawab. Ada yang akan lebih berat di depan sana, getir yang tersimpan ditengah kekacauan, ruang yang tidak memiliki celah selain kekosongan dan kegelapan. Akan tiba waktunya. Tapi ingatlah sahabatku! Kau tidak akan sendirian menghadapi semuanya.
Selamat melanjutkan hidup sahabatku. Adalah kekuranganku tidak memberikan kontribusi apapun dalam prosesi pernikahanmu itu. Hanya seutas doa yang kuulurkan untuk tangan langit, janji tuhan yang terbenam dalam harapan setiap pasangan yang semoga saja, dirimu dan istrimupun, akan mampu meraih kebahagiaan bersama sampai akhir hayat, sebagaimana keluarga senja lain. semoga.
Namun kau tidak harus menampik harapan dengan menghabiskan waktu berjam-jam. Cukupkan harapan sebatas misteri perasaan yang singkat saja. Selebihnya, fakta yang sangat dekat denganmu adalah istrimu. Karena dialah kesempurnaan yang tertata pada masa-masamu yang akan datang. hhe
Dalam satu perspektif, alasan tetaplah pembelaan klise yang kerap menguatkan bius dan motif kepentingan pelakunya. Begitupun dengan keadaanku yang sekarang, selain karena ketiadaan biaya untuk pulang, terdapat beberapa prasyarat kelulusan kuliah yang melilit dan merayuku untuk tetap betah tinggal di sini.
Dan belakangan ini, agar kau tahu sahabatku, saya tengah beruntung memiliki kekasih yang masih sanggup menghunus waktunya untuk sekedar menungguku. Dan hitunglah beberapa bulan ke depan! saya pasti menyusulmu. hkhkhk....