Ada
sesuatu hal yang membuat saya jengkel malam ini. keadaan yang sempat membuat
saya tercengang, seorang kawan satu kelompokku mengatakan sesuatu yang
seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak
tahu apa itu forsel. Hkhkhk...lelucon satir. Saya ingat betul waktu ketika
kelompok ini dibentuk, berikut wajah-wajah yang hadir disana. Dia ikut nimbrung
disitu, atau apa perlu saya publikasikan foto acara tersebut dengan cara
difokuskan ke matanya. Lalu kenapa ia lupa (sengaja lupa)?
Tidak
dapat dipungkiri, bahkan sejak advance gerakan suatu kelompok memiliki rotasi
yang tidak menentu akan membawa ke tampilan yang mana. Senyatanya di sini, kita
telah memahami dengan baik seberapa jauh program kelompok ini berjalan, dengan
misi apa. Tanpa mengesampingkan banyaknya keluhan selama ini, dampak dari
spekulasi yang nihil dan hasil yang tidak jelas. Barangkali dengan penundaan
berbagai aktifitas satu kelompok adalah bentuk yang wajar. Sementara. Namun
kondisi ini tidak serta-merta membuat kita mesti jera dan berpaling. Malam ini,
sentimentil yang tinggi seseorang memaksaku menginjak balik dirinya. Mencongkel
keyakinan yang dibawanya untuk kemudian saya bakar di tengah jalanan. Saya
harus lakukan berapapun bayarannya. seseorang (atau kalau tidak mau disebut
oknum) diantara kita berfikir berseberangan. Artinya ada yang perlu dibenahi
lebih mendalam disini. Jika kelompok ini tidak mau memiliki kesulitan serupa
dengan unit kegiatan mahasiswa, atau organisasi ekstra beserta kroninya yang mereka
semua telah tercebur ke zonasi yang terkotak-kotak sehingga kehilangan relasi
dengan anggota kelompoknya, kesulitan dengan takaran yang mencapai kegilaan
pengaruh, demi menjamu keegoisan yang dimiliki individu di dalamnya.
Kebaikan
sebagai tontonan
Saya
kira ada yang berbeda antara manuver sum’ah dengan riya’ (setidaknya agamaku
mengajari demikian). Sum’ah bertujuan untuk memamerkan kebaikan dengan ungkapan
dan tingkah, sedangkan riya’ memamerkan kebaikan melalui sikap tertentu. Yang
meskipun tanpa dibahasakan, keduanya sama-sama negatif di mata tuhan. Perbedaannya
terlampau sedikit. Memang ya, sum’ah sangat berbahaya bagi psikologi manusia
yang bertindak demikian. akan tetapi dengan asalnya yang bias, riya’ lebih
parah dari sum’ah. Sedikit terdapat kesamaan disini, dengan sembarangan pula saya
mengkopi publikasi di jejaring sosial, “janganlah memandang suatu kebaikan dari
hasilnya saja, karena kebaikan akan diikuti hasil di belakangnya”. Ini kelucuan
yang tragis, setelah memerkan suatu kebaikan lewat potret-potret otentik di
dalam forum kelompok. Pada momen tersebut, saya membenarkan sekilas, dengan
harapan agar semua anggota tidak beranggapan buruk. Namun situasi ini tidak
terbendung ketika seseorang dari kita merespon ini. “jangan bawa-bawa kelompok
jika itu dilakukan dua orang”. ungkapan ini seperti telah membentuk garis tegas
antara kebaikan yang sekedar visualisasi ejekan dengan spektrum kebaikan di
hadapan tuhan dan manusia. tentu hasilnya adalah tanggapan negatif dari anggota
yang lain. tidak peduli seberapa baik tuhan mau mengobral pahala kepada
hambanya pada momen tersebut.
Mengenai
ide, identik, dan identitas
Maka
sangat konyol ketika gerakan kelompok dikaitkan dengan seberapa jauh nilai kebaikan
satu orang terhadap kepentingannya, sendiri. apa yang saya sebut sebagai
kepentingan pada statement ini adalah citra, atau identitas diri. Eksistensi
yang sudah begitu masif dari tensi seseorang, secara langsung bahkan menginjak
nama kelompok ini. saya pikir ide bahwa segala yang dihasrati harus selesai
total perlu direservis. Ide tersebut sedang berhadapan dengan
persoalan ide otonomi. Terlampau meyakini idenya sendiri tanpa memperhatikan
situasi sekitar. Ide tersebut, dalam pengalaman ketika berada di tengah
masyarakat terbuang, akan hancur dengan sendirinya. Tidak bisa tidak, sistem
tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Toh juga kita masih mahasiswa,
kalau memang apa yang dihasrati harus dikerjakan total. Seharusnya kita
membutuhkan usaha sekali lagi dengan tidak menganggap remeh kuliah ini.
pilihannya sederhana, sesederhana ide adaptasi terhadap lingkungan (pelajaran
IPA di SD mengulas bunglon selalu berubah warna sesuai dengan warna tempat
tubuhnya menempel, meskipun perilaku adaptasi ini sifatnya cepat dan sebentar,
sehingga tidak cocok untuk kehidupan politik dan berkelompok). Ide tersebut
harus dikoreksi lebih detail, semua orang dalam satu kelompok membutuhkan
dukungan, saling mendengar, dan saling percaya. oleh seorang tokoh disebut
dengan proses penyatuan diri dengan obyek yang dihasrati, setelah itu, akan
tercapai sebuah peleburan. Kita, yang sejak awal memiliki komitmen, lalu pada
tahap selanjutnya merasakan kebosanan, apa iya harus bersikap seperti bunglon
yang berlari ke arena kelompok lain yang lebih menjanjikan mangsa? Saya kira
menghadapi kebosanan terhadap apa yang kita tempati sejak awal itulah sikap
yang bertahan, dan tidak setengah-setengah. Saya tidak mengerti pembenaran
untuk pembelotan semacam ini, sedangkal pemahaman bahwa pembelotan hanya akan
melahirkan jiwa-jiwa yang teralienasi, merancang ruangnya sendiri untuk
ditempati selamanya, sambil membeberkan konsep akan kejamnya dunia ini. Hei!
jatuh cinta pada kekasihmu saja harus diungkapkan dengan representasi bahasa
dan pengaplikasian tindakan yang sekiranya mewakili yang kamu rasakan. Barulah
membuat komitmen bersama, yang meskipun kadang kekasihmu dibicarakan buruk oleh
orang lain, atau dikhianati olehnya, kamu akan bertahan. Memang ada batasan,
kamu meninggalkannya, mungkin batasan itu adalah akibat dominasi yang
berlebihan. Atau jangan-jangan kamu tidak pernah merasakan jatuh cinta?
Kaitannya dengan kelompok ini, kalau kamu sudah merasakan jatuh cinta pada
kelompok ini berarti kamu perlu menyelami lagi lebih dalam karakter semua
anggota yang terlibat di dalamnya. Saya mempertanyakan siapa yang pernah
disakiti oleh kelompok ini? atau sebut siapa saja yang pernah menyakitimu di
kelompok ini? kalau memang ada, kenapa malah diam?! Ungkapkan disini dong! Tidak
ada perwakilan untuk bicara semenjak dewan perwakilan hanya menjamu kekuasaan. Tidak
perlu juga mencari pembenaran dari orang luar. Pun kelompok ini bukan tuhan,
yang mampu menjawab doamu selalu.
Dengan
demikian ide mengenai identitas kelompok bukan sebuah kanal yang ambisius
mempertahankan ide satu orang. dan ide ambisius satu orang akan menemukan
realitasnya hanya jika dunia tidak dilibatkan. Dengan cara yang agak halus,
keinginan kelompok mesti dipahami sebagai suatu sikap reifikasi. Dimana
keinginan kelompok yang sifat prinsipilnya cair dan bergerak, melalui agenda
atau semacamnya. maka kemudian terksplorasi ke praktek di kenyataan.
Kelompok
yang masih belajar
Saya
tau kemudian ketika kita harus dihadapkan dengan situasi mencengangkan oleh
pertanyaan tentang bagaimana kejelekan kelompok terkuak di lingkungan berbeda
dan mesti disikapi bagaimana? Pertanyaan tersebut beriak pada situasi stagnan
dan biasa-biasa saja. Kelompok ini (kalau tidak mau disebut mati) menurut saya
tidak memiliki arah yang pasti, kecuali nongkrong di warung kopi atau
tempat-tempat umum seperti alun-alun. Memang kenyataan yang di kerjakan melulu
membahas omong-kosong. aktivitas macam ini sama menjengkelkannya dengan kultur
band punk rock yang selalu mengewajantahkan anti kemapanannya dengan konser di
kafe pinggiran kota. Sampai seribu kali mereka berteriak tentang betapa
berbahayanya mereka, paling klop kalau kata berbahaya itu dikaitkan dengan ilusi,
semata. Karena mereka itu semata-mata mengejar opini, dukungan dan pengakuan.
Sedangkan bagi kapitalisme yang selalu mantap hingga saat ini, kultur band punk
rock merupakan kelas yang terasing dari masyarakat, yang mampu melembutkan
eksistensi pasar kapital (sekarang lagi marak remaja labil yang ikut-ikutan
berpenampilan akibat doktrin film punk in love). Namun, dengan pertemuan rutin
dan non-formal, kita sedang berusaha untuk sesuatu hal. Belajar menemukan
keselerasan yang berguna untuk sesuatu hal itu. Sebut saja masa depan yang
hingga sekarang tetap klise.
Seruan
untukmu..
Kalau
tentang kelompok ini. Tidak mungkin kamu “menghimbau” seenak mulutmu demi
kebaikan kelompok. Perhatikan dulu psikogeografis kawan-kawan dalam kelompokmu.
Sudah memiliki komitmen yang sama belum? Apa sudah terjalin komunikasi yang
baik?. Selama ini kamu tidak pernah mau berkumpul dengan kami, kamu menolak
membagi bicara omong-kosong dengan kami, yang padahal lantai dari konsolidasi
itu terbuat bukan hanya mengandalkan koneksi perorangan lewat pertemuan gaib,
melainkan dari pertemuan rutin atau meskipun itu di warung kopi. Lagipula kan
kamu merasa lebih unggul dari kami?!. Oh ya saya paham, karena kesombonganmu
itu mungkin membuat kamu teramat menjengkelkan, jadi kelompok ini harus meminta
nasehat dan belas kasihan ke tempat tinggalmu. Kalau belum benar komunikasi
internalmu, berarti obsesifmu butuh reparasi yang mencolok ke arah instalasi
ulang, daripada kamu menebar racun di lingkungan luar. Atau mari kita belajar
kembali dasar-dasar pembentukan kelompok ini?
terminologi
“menghimbau” sendiri sering direpetisi oleh penguasa-penguasa, diiringi oleh
semangat perjuangan membela rakyat, pancasilais dan jargon lainnya di balik
layar televisi. Akan tetapi hasil yang diterima rakyat bertolak belakang.
Secara
subyektif. wujud ego yang bersarang dalam dirimu itu. Adalah tentu memuakkan, yang
merasa sudah sabar dan berbuat baik selama ini. tapi tidak lantas memaksakan
keinginan personalmu kepada personil yang lain. ingat! Di kelompok ini tidak
ada pion yang mesti mati demi misi penyelamatan sang raja. Meskipun kata seruan
ini tidak lantas merupakan dalih untuk melupakan pertolonganmu tempo hari.
bagaimanapun juga saya berhutang budi padamu. Tapi pada organisasi, kamu tetap
saya permasalahkan. Nahh... mengenai pengaturan arah gerak. Kitalah setir
kelompok ini. Karena kita sendiri bebas memperdebatkan dan menyelesaikan apapun.
bebas disini bukan kata sifat.
Setiap
kelompok tentu memiliki pertimbangan. Entah itu pertimbangan masalah kuliah,
keluarga dan lain-lain. kelompok ini kan sebuah forum. Kalau kamu tidak setuju
dengan penamaan ini, kenapa kamu harus mencari tempat peraduan di luar? sikapmu
yang berpura-pura tidak tahu itu seharusnya kamu ungkapkan di intern kelompok,
bukan malah menyerang dari sudut pandangmu, sendiri. seminimal mungkin ego yang
kita miliki sejak lahir berusaha kita kikis setidaknya dalam waktu yang
temporer. Dengan cara apa itu yang disebut kompromi, mediasi dan blablabla
apalah. Karena pengikisan ego, semua orang akan belajar berkorban untuk
memahami keinginan kelompok. masa inilah masa pendewasaan. Memandang keburukan,
semua orang, saya yakin sangat jeli daripada memandang kebaikan di balik itu.
Boleh
saja kamu pergi atau keluar dari kelompok ini, tapi tidak lantas meninggalkan
jejak buruk bagi kelompokmu. Karena jejak
ini adalah sikap meremehkan banyak orang. kamu telah mengumbar ke lingkungan luar,
tentang kejijikanmu, sekaligus di waktu yang sama kamu haus kebutuhan pembelaan.
Menurut saya wajar kalau orang sepertimu bersikap bak kucing lapar yang mencari
belaian dari tangan siapapun yang memiliki makanan. Karena memang kelompok ini
selalu miskin kedisiplinan, miskin tontonan yang berarti, miskin pesona, dan
selalu terlambat belajar, dan kelompok ini bergerak hanya demi berusaha mengisi
waktu senggang kuliah masing-masing kami yang mulai terasa bosan. Bukan menebar
popularitas ala selebritis.
Dengan
sadar saya meniru operator seluler. Saya telah berkali-kali bicara padanya
mengenai kelompok ini, dan harus berikap bagaimana menghadapi situasi sekarang.
tetapi sama sekali tidak digubris olehnya. Mungkin melalui media sampah ini
saya akan membuang sampah ingatan pada gesekan kecil yang terjadi baru saja.
Saya tidak mengharapkan apapun dari infantile-disorder itu. selain kelegaan
yang maha tenang di tengah malam. Sampah memang harus terbuang percuma. Catatan
ini bukan sesuatu yang obyektif, dengan analisis tajam spesialis kata-kata. Catatan
ini murni, semurni omong-kosong. karena sayapun meragukan apa yang saya anggap
benar. Konsekuensi yang akan saya terima tentu tidak sekecil kejengkelan sesaat
ini. timbal balik kritiknya akan lebih berat, bisa jadi saya akan kehilangan
seorang teman lagi, saya tidak peduli, lagipula pengalamanku tidak baik-baik
amat dalam berteman. Bahkan mungkin dia dengan argumen pedas berkata “tidak
perlu menceramahi saya tentang pahala!” atau “persetan dengan visi kelompok!”.
Justru saya butuh kalimat itu dimanapun kami akan berjumpa!